Di postingan kilat ini, saya ingin curhat tentang keluh kesah saya sebagai Ibu muda yang masih galau ketika anak udah masuk usia toddler tuh sebenernya perlu Preschool atau enggak.
Saat masuk usia 2 tahun, mertua mulai sering tanya “Aksa kapan sekolah?”. Dari situ baru mulai galau. Sebelumnya sih udah coba bikin timeline dan milestone pendidikan Aksa. Dan Preschool gak masuk ke rencana awalku.
Kenapa? Aku belum merasa butuh.
Untuk pendidikan kognitif dan emosional, aku masih merasa bisa mengajarkan Aksa di luar waktu kerja. Hasilnya juga cukup baik (dari penilaianku). Aksa cukup cepat memahami hal baru. Untuk science, Aksa suka aku ajarkan tentang astronomi, seperti nama-nama planet dan objek antariksa lainnya. Saat ini Aksa sudah bisa mengenali planet dan objek hanya dari gambar yang dipilih secara acak. Sekarang juga lagi sering belajar geografi. Aksa lagi suka belajar tentang angin puting beliung dan gunung berapi. Warna, bentuk, angka dan huruf juga pemahamannya cukup baik. Aku merasa banyak terbantu dari lagu-lagu yang aku kenalkan ke Aksa sejak ia usia 6 bulan.
Untuk emosi, Aksa sudah mulai memahami ketika orang sekitarnya sedih atau marah. Kalau aku (pura-pura) sedih, dia akan bilang “jangan nangisss, ayo kita bikin lagi”. Ini copy-paste responsku sih, kalau Aksa lagi main dan mainannya jatuh/rusak. Dari sini jadi memahami kalau anak itu copycat sejati.
Nah tapi ada respons yang aku takjub karena ini dari dia sendiri, bukan copycat respons orang sekitarnya, yaitu ketika orang sekitarnya marah! Kalau Aksa ‘nakal’ dan aku menunjukan ekspresi marah, biasanya dia akan menghentikan kegiatannya dan nyamperin lalu sambil senyum. Kalau aku tanya “Aksa lagi ngapain?”, lalu dia akan bilang “Mama senyummm” sambil nyontohin senyum. Gimana bisa marah coba???
Selain kognitif dan emosi, kami juga mulai mengajarkan Aksa agama. Mulai sering ikut sholat dan bisa mengenali nama sholat berdasarkan waktu (walau kadang masih salah, paling ingat Isya karena malam hari beda sendiri).
Untuk masalah sosialisasi juga aku rasa cukup. Setiap pagi jam 7, jadwal Aksa muterin komplek sama ART-ku. Gak lama, cuma 15 menit, yang penting untuk berjemur dan menghirup udara segar. Kalau sore, setelah bangun tidur siang baru deh jatah main yang lebih lama, 30-60 menit. Biasanya dari pukul 16.30-17.30. Waktunya mba-mba di komplek pada ngumpul juga, sementara anak-anak yang diasuh sambil main bareng. Menurutku ini bagus biar ART gak bosen di rumah juga dan anak juga happy lari-lari sesukanya (soalnya kan rumahnya sempit ya ges HAHA). Aksa juga sering main sepeda sebelum makan siang sambil kadang nyamperin adik depan rumah atau kakak samping rumah. Bahkan saking rutinnya Aksa muterin komplek, tetangga lebih kenal sama Aksa daripada sama Ibunya :”)
Nah karena alasan-alasan di atas, aku jadi merasa udah cukup. Tapiii… kalau katanya Dan Ariely, “we like to make decisions based on comparisons“. Maka mulai lah aku lihat ke luar, temen-temenku gimana sih. Lihatnya tentu saja tidak lain dan tidak bukan via medsos dong. Lalu mulai lah jadi tau wah ini di daycare sambil belajar juga, wah ini ikut preschool, wah ini ikut kelas kreatif tiap weekend, wah ini ikut gymnastic, wah ini ikut kelas renang, wah ini sekolah internasional, wah… wah… wah… gak habis-habis deh.
Kalau abis liat-liat gitu langsung deh merasa kurang. Malah jadi takut, Aksa nanti bisa bersaing gak ya kalau teman-temannya udah pada curi start duluan gini. Apa aku harus mulai daftarin Aksa kesana-kesini. Tapi biayanya lumayan juga ya kalau mau ini-itu. Aduh pusing mamak.
Menjadi objektif rasanya sulit sekali. Akhirnya aku bikin rule-of-thumbs aja biar jadi panduan.
Pertama, sekolah dini (sebelum usia SD) harus bisa dijangkau cepat dari rumah. Sebagus apapun sekolahnya, kalau menyiksa anak dengan macet di jalan, aku gak mau. I want him to find the joy in learning and it starts from how he get to school.
Kedua, anakku harus belajar akhlak sejak dini. Aku percaya buat jadi pinter itu gampang, asal ada kemauan. Hal yang sulit itu justru pendidikan akhlak. Apalagi kalau lihat berita-berita terkini, haduh kenapa ya orang bisa setega itu menyakiti hati orang lain, baik secara fisik (mukulin orang sampai koma) maupun non-fisik (korupsi ngabisin uang yang bukan miliknya).
Ketiga, tentu saja sesuai dengan budget finansial kami hehe. Tentu saja semua orang tua mau yang terbaik, cuma kami gamau ‘maksa’ dari awal sekolah. Mending uangnya untuk pendidikan di jenjang berikutnya.
Nah tapi tentu saja rule-of-thumbs ini belum menjawab apakah Preschool itu perlu atau enggak. Kalau aku merasa gak perlu. Toh, kita selalu sewa mainan bulanan juga di rumah. Sesi belajar Aksa denganku juga (sepertinya) cukup menyenangkan. Waktu sosialisasi dengan teman juga cukup. Tapi suamiku masih condong ke ingin sekolahin Aksa. Padahal kalau Aksa sekolah tuh harus ada yang bisa antar jemput juga (ART-ku udah mbok-mbok gabisa bawa kendaraan). Perubahan sesedikit apapun kan yang mikirin gimana jalannya biar smooth kan ya mostly di mamak ya. Jadi ya ini galaunya juga selain karena bingung beneran butuh atau enggak, bingung juga ini aku yang ‘malas’ beranjak karena sudah mulai menemukan zona nyaman atau bukan. Huft.
Jadi untuk saat ini sih ya yaudah masih dijalanin aja dulu. Aksa juga belum ada 3 tahun. Kita nikmati saja kegalauan ini ya, bund.